Seberapa sering kamu memakai kata ‘kami’ ketika mengacu kepada orang pertama jamak eksklusif? Ketika kamu membuka sebuah presentasi di depan kelas, kamu memakai kalimat “Perkenalkan kami …” atau “Perkenalkan kita …”? Tidak sering dibahas, tetapi kata ‘kami’ dan ‘kita’ itu memiliki makna yang berbeda:
- Kami adalah kata ganti orang-pertama-jamak-eksklusif.
- Kita adalah kata ganti orang-pertama-jamak-inklusif.
Artinya, kalau kamu memakai ‘kita,’ berati kamu juga memasukkan orang yang diajak berbicara ke dalam argumen kalimatmu.
Beberapa orang mungkin nganggap hal ini sepele, tapi ada kalangan orang yang nganggap ini semua penting. Mereka—dan mungkin juga kamu—nganggap kalau menggunakan bahasa baku di kehidupan sehari-hari adalah hal yang wajib.
Namun, apakah bahasa baku memang sepenting itu?
Dialek dan Standardisasi Bahasa
Pertama-tama, mengapa ada istilah bahasa baku? Mengapa perlu ada bahasa baku?
Bahasa baku—atau istilah yang lebih tepatnya adalah ragam bahasa baku—itu sebenernya adalah hasil dari upaya standardisasi bahasa. Kebetulan bahasa Indonesia adalah contoh yang bagus untuk ngejelasin hal ini.
Tujuan Standardisai Bahasa
Karena beragamnya bahasa yang digunakan di Indonesia, maka akan banyak pula bermunculan dialek daerah bahasa Indonesia. Dialek adalah variasi bahasa yang berhubungan dengan budaya, geografi, dan sejarah. Nah, keberadaan dialek yang sangat beragam ini akan menimbulkan beberapa masalah jika dibiarkan: menyebabkan masalah komunikasi antar generasi dan antar wilayah. Walo gitu, urang pribadi gak nganggap dialek sebagai hal yang negatif, karena bagi urang, dialek tuh salah satu bentuk identitas tiap-tiap individu.
Nah, untuk mengatasi hal tersebut, diberlakukanlah suatu hal yang disebut sebagai: standardisasi (betul, dengan ‘d’ di antara “standar” dan “isasi”) bahasa. Standardisasi bahasa adalah proses untuk menetapkan suatu cara tertentu untuk membaca, menulis, dan menggunakan suatu bahasa; umumnya bertujuan untuk mempermudah komunikasi serta proses pengajaran, dan untuk membuat kosa kata bahasa lebih konsisten. Standardisasi bahasa juga bertujuan untuk menciptakan satu bahasa umum yang dapat digunakan oleh semua warga negara dalam berkomunikasi, membuat komunikasi antar suku lebih mudah.
Standardisasi bahasa berguna untuk membantu orang yang belajar bahasa untuk memahami dan menggunakan kata-kata dengan benar. Dengan standardisasi bahasa, orang yang belajar bahasa dapat dengan lebih mudah memahami kosa kata bahasa, susunan kalimat, dan bunyi bahasa yang tepat. Standardisasi bahasa juga dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam menulis dan berkomunikasi.
Jadi, inti dari penciptaan standardisasi bahasa adalah membuat pemakaian bahasa menjadi lebih sangkil nan mangkus.
Sangkil dan Mangkus?
Yah, tujuan utama standardisasi bahasa memang menciptakan penerapan berbahasa yang sangkil dan mangkus, tapi dunia itu tampaknya memiliki parameter yang lebih kompleks daripada yang bisa diantisipasi oleh bahasa baku.
Context matter, kadang dengan memahami konteks saja, kita bisa langsung memahami maksud dari lawan bicara, bahkan tanpa harus berdiskusi. Tahu, ‘kan, meme yang biasanya ngebandingin panjang kalimat yang dibutuhkan untuk menjelaskan suatu maksud dalam bahasa A dan B? Walopun meme gituan tuh agak cringe, tapi urang ngerti kenapa hal kayak gitu bisa ada.
Dengan adanya konteks, maka kita tidak harus selalu mengutarakan apa yang kita maksudnya secara menyeluruh. Dari situ, lahir pula frasa-frasa baru yang tampaknya tidak bisa berdiri sendiri tanpa konteks bawaan yang entah dari mana dan kapan asalnya. Bisa dibilang, ini adalah proses paling organik suatu bahasa bisa berkembang.
Dikotomi
Namun, perkembangan organik tersebutlah yang justru menimbulkan permasalahan di paragraf-paragraf awal postingan ini. Ragam-ragam itulah yang disebut sebagai ragam non-baku. Dari sana, muncullah ragam Non-formal yang berlawan dengan saudaranya: ragam formal.
Mungkin pembagian formal dengan non-formal itu adalah gawang pertama untuk bisa memahami kenapa tidak banyak orang menerapkan bahasa baku ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ragam formal itu terkesan kaku dan kolot. Apa yang ada dalam kertas dokumen resmi sebaiknya tetap dalam kertas tersebut, rumpian semasa di tongkrongan tidak musti terkekang aturan induk-anak kalimat atau pun diksi arkais. Pesan-lah yang paling penting, ragam siapa peduli.
Namun, ragam formal pun terkesan elegan dan canggih—urang berusaha menerjemahkan sophisticated ini tuh, tapi hasilnya aneh. Ragam formal sendiri tidak harus selalu terpenjara di dalam dokumen-dokumen resmi, perbincangan antar kawan bisa tetap dimengerti walau memakai ragam formal. Selain itu, siapa bilang ragam formal tidak bisa memperkuat pesan yang hendak kita sampaikan?
Berbahasa yang Baik dan Benar
Cuman, yah…
Tidak semua orang merasa ‘nyaman’ menggunakan bahasa baku
pada setiap percakapan, tetapi pemakaian bahasa baku bisa membantu penyampaian
pesan yang hendak kita ungkapkan. Lalu, bagaimana solusinya?
Jawabannya: Gunakan bahasa yang baik dan benar.
Bosen gak sih denger kalimat yang seakan-akan sudah jadi ‘mantra’ di sekolah kita semua? Namun, mantra ini memang memiliki tujuan yang baik; ketika kita berbicara dengan orang lain, kita sebaiknya berbicara dengan baik serta benar.
Namun begitu, banyak orang berfikir kalau berbahasa yang baik dan benar itu hanyalah berbahasa yangs esuai aturan baku saja. Padahal nggak. Apa bedanya berbahasa yang baik dengan berbahasa yang benar?
Berbahasa yang Benar
Maknanya sudah terpampang jelas, berbahasa yang benar berati berbahasa dengan mengikuti kaidah dan aturan berbahasa baku. Tujuan dari frasa ini adalah sama persis dengan segala pembahasan kita sebelumnya di paragraf-paragraf atas; membuat komunikasi yang sangkil dan mangkus.
Berbahasa yang Baik
Walaupun begitu, ada sisi lain yang ditekankan dalam mantra ini, yaitu berbahasa yang baik. Berbahasa yang baik berati berbahasa dengan mempertimbangkan konteks tempat, suasana, dan lawan bicara. Berbahasa yang benar sesuai kaidah saja akan terasa aneh dalam pengaplikasiannya di lingkungan masyarakat.
Coba saja bayangkan kita harus selalu berbicara sesuai kaidah bahasa ketika berbelanja di pasar atau dalam perbincangan ringan dengan teman; bakal canggung nan aneh, dan menurut urang justru malah membuat jadi tidak sangkil. Di sisi ekstrem, justru kalau kita memakai ragam bahasa formal kepada teman yang sudah dekat, malah akan terasa mengejek.
Itulah makna dari ‘berbahasa yang baik,’ berbicara sesuai konteks. Konteks dalam perbincangan itu bukan hal yang bisa disepelekan.
Di sisi lain, kita juga harus paham bahwa kita harus memakai ragam bahasa baku ketika mengerjakan dokumen resmi atau membuka dialog dalam konteks resmi. Ketika kita membuka sebuah laporan skripsi dengan
Anjir, mari kita mulai skripsi ini, wahai kakawan dan dosenku tersayank
hal itu malah justru akan membuat bulu kuduk merinding.
Jangan lakukan
itu.
Spektrum
Pada penerapannya, kita tidak selamanya hanya ada di dua titik terpolarisasi (Formal dan Non-Formal) saja, tetapi dalam sebuah spektrum. Ketika kita berbicara dengan atasan dan orang asing, kita akan secara tak sadar memakai ragam bahasa baku, tetapi mungkin ‘kebakuan’ yang dipakai ketika berbincang dengan orang asing akan berbeda dengan kebakuan yang digunakan ketika berbicara dengan atasan.
… dan ini sangatlah normal! Urang pribadi sih… mikir kalau kata “Berbahasa yang baik dan benar” itu ada untuk mengakomodasi hal ini.
EYD
Mari bicara soal Buku Novel dan editorial. Bahasa Indonesia Baku memiliki satu anak yang tampaknya sudah sangat populer di kalangan penulis dan anak kuliahan: EYD; Ejaan yang Disempurnakan.
Pernah kepikiran gak sih, kenapa buku novel harus melalui serangkaian penyuntingan dan koreksi ejaan untuk bisa terbit? Jawaban singkatnya sih, supaya novel tersebut bisa dipahami oleh jangkauan orang yang lebih luas, makanya bahasa baku adalah prioritas.
Namun, gimana kalo kita emang tujuannya ingin bikin novel dengan bahasa yang non-formal? Yah… tinggal bikin aja bahasa yang dipakai bukan ragam formal, tapi ejaan dan sebagainya tetap mematuhi aturan yang ada. Karena ragam bahasa non-formal ≠ ejaan acak-acakan.
EYD itu bisa dibilang merupakan perpanjangan dari ragam bahasa baku sekaligus bisa juga dibilang komponennya. Penerapannya pun sama, ada spektrumnya. Ketika kita sedang membuat status Facebook harian, mungkin bisa memakai ragam non-formal dengan berbagai macam singkatan dan tanda baca minimal, tetapi ketika membuat sebuah catatan atau pernyataan resmi, kita sebaiknya memakai ragam bahasa yang lebih baku dengan Ejaan yang sesuai kaidah.
Jadi, Apa Pentingnya?
Sesuai dengan tujuannya, pentingnya memakai bahasa baku adalah.. yah, membangun komunikasi yang sangkil nan mangkus, selain itu, bisa juga untuk ngebangun image yang baik bagi orang umum.
Haruskah?
Tidak! Namun kita semua memerlukan keterampilan berbahasa baku.
Konteks sangatlah penting, kita sebagai manusia sudah berevolusi selama dua juta tahun untuk memahami hal tersebut, dan karena bahasa adalah salah satu produk dari evolusi tersebut… sudah sepantasnya hal ini diperlakukan dengan sebagaimana mestinya; menyampaikan pesan sesuai konteks.
Bagaimana Dengan Urang Pribadi?
Urang gamau ngobrol terlalu formal kalau lingkungan sekitar emang gak seperti
itu. Akan tetapi… urang bakal selalu cringe kalau ngeliat ada orang
salah nulis dan salah eja (Terutama—tentu sahaja—menuliskan preposisi
di
dengan awalan di-
yang kebalik). Biar pun begitu,
itu cuman reaksi refleks urang aja, urang sama sekali gakkan
mempermasalahkannya, dan urang juga bakal berusaha buat gak ngeliatin reaksi
urang tersebut ketika di muka umum wkwkwk.[]
Belum ada komentar
Catatan: